Nilai tukar rupiah menguat dan telah menembus level psikologis Rp 10.000 per Dollar AS setelah menguat 65 poin dari sehari sebelumnya hanya beberapa hari setelah ledakan bom teroris. Luar biasa, sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada masa masa lalu. Bahkan percepatan penguatan rupiah ini kabarnya agak ditahan atau direm oleh bank central demi menyelamatkan para exportir. Hal ini bisa kita lihat bahwa gerakan rupiah lebih lambat bila dibandingkan dengan gerakan IHSG setelah kemarin meroket 40 poin dan ditutup pada level 2.185,6 yang mana merupakan level tertinggi sejak kejatuhannya akibat krisis finansial global akhir 2008.
Terlepas dari akibat penurunan nilai dollar Amerika terhadap mata uang regional, aksi borong rupiah dan saham ini tak lepas dari kepercayaan para investor dan para pelaku ekonomi baik luar dan dalam negeri terhadap kesehatan ekonomi Indonesia pada umumnya ditengah krisis global saat ini. Hal ini sangatlah tidak mengherankan seandainya beberapa hari lalu tidak ada ledakan bom teroris, sebab secara umum memang fundamental ekonomi kita jauh lebih baik bila dibandingkan saat krisis ekonomi 1998 yang lalu. Tetapi yang mengherankan adalah penguatan ini terjadi disaat bangsa ini masih terguncang oleh ledakan bom teroris, bahkan garis Polisi pada TKP pun saat ini masih ada dan belum dibuka.
Artinya para investor dan pelaku ekonomi sama sekali "ignoring" issue ledakan bom teroris. Mengapa? Pertama, karena mereka mengetahui fundamental ekonomi kita memang baik. Disamping para investor telah mulai memalingkan diri dari USD karena Rupiah dianggap lebih menguntungkan saat ini. Kedua, hasil pilpres yang memenangkan pasangan SBY dan Boediono adalah sesuai dengan keinginan pasar dan pelaku ekonomi, sehingga mereka pun turut mendukung dengan menciptakan sentimen pasar yang mengarah ke penguatan rupiah dan saham.
No comments:
Post a Comment